Merah putih. Ya, kali ini gua udah
beranjak sedikit dewasa. Baju yang gua kenakan menunjukkan gua adalah anak SD
yang kecil mungil, imut dan menggemaskan. Pagi ini gua gak perlu nunggu ade
karena kami udah tidak bersama-sama lagi. Eh jangan salah sangka, maksud gua,
ade udah tidak dititipkan dan gua udah masuk sebuah SD Swasta di daerah juanda,
tidak jauh dari tempat penitipan dahulu. Gua satu sekolah dengan Dito, teman
cowo botak ketika gua dipenitipan. Si botak itu makin hari makin kurang ajar kelakuannya.
Ketika itu guru kami sedang mengajarkan matematika, sedangkan kami serius
mencatat. Ketika guru kami keluar sebentar karena ada urusan, kelas menjadi
ramai. Maka bencana itu terjadi, tiba-tiba Dito menghampiri meja gua dan
langsung dengan cepat mencium pipi kiri gua. Iyuuuuuh. Sambil menghapus bekas
ciuman menjijikan itu, gua kejar dia sampai mengelilingi satu kelas. Karena
kecapean, keringetan setengah mati, akhirnya gua menyerah. Terkutuklah bocah
botak itu, dia telah menodai pipi manis gua. Sejak saat itu gua gak pernah
ngomong sama dia.
Kelakuan gua ditertawakan oleh
cowo manis bernama Doni. Namanya sama dengan ade gua. Muka dan gayanya saja
yang untung tidak sama. Gua suka Doni dengan penampilan cool nya, tertawanya,
cara berjalannya, semuanya. Gua jatuh cinta untuk pertama kalinya. Mungkin bisa
dibilang cinta bocah bukan cinta monyet, emang gua monyet apa. Kembali ke Doni,
tiap hari dialah yang bikin gua semangat sekolah. Berangkat dengan riang hanya
ingin bertemu Doni dikelas. Kami sering bersaing peringkat. Ketika gua peringkat
1 maka dipastikan Doni peringkat 2, begitu juga sebaliknya. Tapi semua itu berakhir
ketika gua naik kelas 3 SD.
Cowok yang gua kagumi itu tiba-tiba tidak masuk.
Lantas gua langsung sedih hari itu juga dan merasa tidak semangat untuk
sekolah. Kemudian guru yang menjabati BP memberi kabar bahwa Doni pindah
sekolah. Seakan-akan badai di dalam hati gua, gua bertanya-tanya kenapa Doni
tidak memberi kabar kepada gua, kenapa dia gak pamit terlebih dahulu. Semua
pertanyaan itu berputar-putar di otak gua. Seminggu gua lesu pergi ke sekolah
ditinggal oleh kepergiannya yang begitu cepat itu.
Hari-hari berlalu. Gua harus move
on oleh kepergian Doni. Lalu gua pun sibuk mencari aktifitas yang menyibukkan
gua sampai benar-benar lupa dengan Doni. Pulang sekolah, gua langsung mengganti
pakaian bermain. Gua harus bermain keluar rumah. Tapi gua baru ingat saat itu
gua sedang tidak punya teman bermain. Hal itu karena semenjak dipenitipan gua
memang jarang bergaul keluar rumah. Di gang rumah gua memang rata-rata
mayoritas berkelamin laki-laki. Adapun perempuan hanya satu atau dua orang yang
bertempat tinggal lumayan jauh dan itu sangat membosankan karena bermain boneka
dan masak-masakan. Gua bosan dan inginnya bermain dengan keringat bercucuran
serta riang gembira. Itu yang gua inginkan.
Kemudian gua melihat kawanan ade
gua beserta teman-temannya bermain bola. Dengan pedenya gua menawarkan diri
untuk ikut bermain. Tadinya mereka heran, tetapi setelah dicoba ternyata gua
lihai bermain bola. Bahkan untuk pertama kalinya, dengan umpan cantik dari ade
gua, gua pun dapat membobol pertahanan lawan. Semuanya asik, semuanya ikut
riang bermain. Hari-hari selanjutnya, gua pun ikut di kawanan ade gua itu
bersama teman-temannya kemana pun mereka berada. Nongkrong bareng, jajan
bareng, jalan bareng, main bola bareng, ngecengin cewe-cewe dimalam minggu
bareng-bareng, semuanya udah pernah gua lakukan. Gua gak malu meskipun gua
perempuan satu-satunya dikelompok. Mereka pun tak risih dengan kehadiran gua.
Siang itu kami kehabisan uang
jajan. Uang taruhan bola di pagi hari sudah habis kami jajankan es kebo. Gua sebagai
satu-satunya cewe jenius di kelompok itu mengajukan ide untuk berjualan. Kebetulan
teman ade gua mempunyai kenalan untuk berjualan pempek. Dengan sisa keringat
dan tenaga kami, akhirnya kami pun berkeliling membantu berjualan pempek. Satu komplek
sudah kami lalui dengan pembeli yang tak kunjung datang. Ternyata berjualan itu
tidak mudah kawan. Akhirnya karena perut kelaparan, kami membeli pempek
tersebut dengan memakai honor yang diberikan. Setelah beberapa saat, pempek
separuh terjual.
Hari itu kami menemukan uang 5.000
di jalan. Uang tersebut bisa dibilang lumayan untuk jajan seminggu pada jaman
itu. Teman kami, sebut saja Ridho, ingin mengambil uang tersebut. Dan lagi-lagi
sebagai cewe paling imut di kelompok itu, gua menceramahi. Awalnya juga gua
tergiur, tetapi ajaran bokap nyokap gua melekat di otak. Itu adalah uang haram.
Uang yang kalau dijajankan akan menjadi cacing di perut. Uang yang kalau
dijajankan akan masuk kerak neraka. Uang yang kalau dijajankan, akan jadi
jomblo melarat. Nah kalau yang terakhir agak berlebihan. Intinya uang itu tidak
boleh diambil. Tidak boleh digunakan untuk kesenangan kami.
Beberapa menit
setelah gua menceramahi, tiba-tiba muncul pemuda dengan wajah yang tidak
terlalu jelek, mamakai peci, terlihat beriman, memegang plastik untuk menampung
uang pembangunan mushola. Tiba-tiba ade gua mendadak jenius, gua pun takjub. Dia
mengambil uang yang tergeletak lemah tak berdaya itu lalu memberikan kepada
pemuda itu. Sungguh, hati gua tersentuh.
Gua bangga punya ade yang
nakalnya naujubillah biadab dengan teman-teman yang binal gak karuan, tapi kami
punya hati untuk saling berbagi, punya akal untuk tidak berbuat buruk yang
tidak menyimpang dari agama, dan kami mencapai sesuatu dengan usaha. Gua kangen
masa-masa itu.
ini muka gua ketika SD, dan ade gua yang masih di penitipan :3